MUHITHUL ULUM

"Jadilah Kamu Orang yang Mengajarkan Ilmu atau Pencari Ilmu atau Pendengar dan Jangan Menjadi Orang yang ke Empat"

Rahasia Ragam Bentuk Jama' Untuk Satu Mufrod
28 February 2009 Jaja Zarkasyi, S.Th.I

A. Pendahuluan

Berbicara masalah al-Qur’an tak bisa dilepaskan dari ketinggian bahasanya yang melampaui jaman dan waktu. Al-Qur’an yang lahir beberapa abad ke belakang ternyata mampu bertahan dari segala bentuk perkembangan jaman. Tidak pernah sedikitpun al-Qur’an tereliminasi dari realitas kehidupan suatu jaman. Bahkan al-Qur’an menjadi sumber bagi pembangunan suatu peradaban.
Bagi kalangan ahli bahasa, al-Qur’an pada dasarnya memiliki karakteristik yang sama dengan bahasa Arab secara khusus dan bahasa-bahasa lainnya. Hal ini ditandai dengan dapat dimengertinya struktur dan kaedah kebahasaan yang dipakai al-Qur’an. Namun demikian, walaupun para ahli bahasa mengerti dan paham akan karakteristik bahasa al-Qur’an, mereka tetap tidak mampu menandingi nilai kesusastraan al-Qur’an tinggi.
Seorang sarjana muslim kontemporer, Muhammad Syahrur mencoba menjelaskan sisi kemukjizatan al-Qur’an. Syahrur menyebut bahwa mu’jizat para nabi sebelum Nabi saw adalah berupa fenomena alam. Ibrahim tidak terbakar oleh api yang melahapnya, Musa dengan tongkat nya, Isa as dengan kemampuannya menghidupkan orang mati. Sehingga penafsiran terhadap fenomena alam ini bersifat tunggal. Sedangkan al-Qur’an mengambil bentuk deskriptif, atau dengan kata lain memilih teks sebagai media penyampaiannya. Sedangkan al-Qur’an merupakan jelmaan dari kesempurnaan ajaran Tuhan. Kekuatan al-Qur’an terletak pada kekuatan teks-nya yang sempurna. Kesempurnaan redaksi al-Qur’an karena berposisi sebagai penyempurna dan penutup ajaran para Nabi saw. Dengan tidak akan dikirim laginya seorang nabi, maka al-Qur’an harus menjelma dalam bentuk teks yang kekal dan dapat hidup sepanjang masa. Kemu’jizatan al-Qur’an di sini berarti haruslah abadi, dalam artian selama-lamanya tidak bisa ditandingi.
Lalu Syahrur melihat beberapa ciri kemukjizatan al-Qur’an yang telah melemahkan siapapun yang mencoba menandinginya, yaitu adanya tasyabuh. Syahrur melihat dua jenis tasyabuh : rasionalitas al-Qur’an yang mendahului pengetahuan indrawi, dan relativitas pemahaman dan menetapkan ke-absolutan sang pemilik teks. Al-Quran menggunakan redaksi yang tetap ketika menjelaskan atau berbicara akan hukum alam. Namun, setiap bertambahnya zaman yang disertai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, teks al-Qur’an tetpa tegak. Bahkan dari teks yang absolut itu telah melahirkan teori-teori ilmiah atas kajian inderawi. Artinya kemajuan zaman beserta ilmu pengetahuannya tidak lantas menyebabkan al-Qur’an lemah atau mungkin kalah.
Ciri kemukjizatan lainnya terletak pada karakteristik linguistik. Syahrur membagi linguistik al-Qur’an ini kepada dua bentuk : bentuk ilmiah objektif dan bentuk redaksi sastra. Al-Qur’an memiliki bidang kajian ilmiah yang objektif. Hal ini sama seperti yang dihasilkan oleh Isac Newton, Albert Einstein dan yang lainnya yang mampu mengartikulasikan teori-teori mereka. Pertanyaannya adalah mampukan Newton dan Albert Einstein menyusun teori-teori ilmiahnya ini dengan menggunakan media sastra milik para pujangga tanpa mengurangi kedalaman kajiannya? Inilah awal kita bisa memahami konsep I’jazul qur’an Syahrur. Inilah yang telah dilakukan al-Qur’an yaitu mengkaji secara ilmiah dan mendalam, kemudian menyajikannya dengan cita rasa sastra yang tinggi.
Di sinilah Syahrur mengatakan bahwa salah satu letak i’jaz al-Qur’an adalah pada ketinggian bahasa dalam mengungkapkan suatu teori ilmiah. Al-Qur’an begitu indah dan cerdas dalam memilih kata, sehingga isi di balik teks dapat tersampaikan dengan baik tanpa mengalami reduksi.[1] Tidak itu saja, bahwa al-qur’an juga begitu cerdas dalam meletakkan setiap bentuk kalimat untuk satu tujuan tersendiri.
Salah satu kecerdasan al-Qur’an dalam memilih kata dan meletakkannya dalam kalimat adalah ragam kalimat jama’ untuk mufrad yang sama. Dalam al-Qur’an dapat kita jumpai beberapa bentuk jama’ tetapi berasal dari mufrad yang sama. Dr. Ahmad Mukkhtar Umar dalam penelitiannya bahwa terdapat 57 kata yang memiliki bentuk Jama’ yang lebih dari satu.[2]
Ragam bentuk jama’ untuk mufrad yang sama menjadi rahasia tersendiri bagi al-Qur’an. Lalu apakah motif di balik semua ini? Apakah hal ini disebabkan oleh perbedaan lahjah seperti halnya terjadi dalam qiraah? Ataukah unsur kesusastraan memang berada di balik ini semua?.
Jika Ragam bentuk Jama’ untuk mufrad yang sama ini disebabkan perbedaan lahjah, maka pembahasannya akan selesai sampai pada pencarian asal-usul lafadz-lafadz tersebut. Tidak ada yang perlu dilebihkan di sini, karena perbedaan lahjah ini tidak berimplikasi pada nilai kesusastraan.
Lain halnya jika Ragam bentuk Jama’ untuk mufrad yang sama ini bagian dari nilai sastra al-Qur’an, maka hal ini akan sangat menarik dan menjadi pembahasan yang sangat panjang serta mnenarik. Kecerdikan al-Qur’an memilih kata menjadi fokus kajian. Pelacakan akan asal-usul Ragam bentuk Jama’ untuk mufrad yang sama ini dapat meliputi sejarah kebahasaan, filsafat bahasa, kaedah bahasa dan sejenisnya.
Jelaslah di sini bahwa Ragam bentuk Jama’ untuk mufrad yang sama menunjukkan ketinggian nilai sastra al-Qur’an. Berikut beberapa kajian seputar Ragam bentuk Jama’ untuk mufrad yang sama.

Kaedah Jama’

Jama’ adalah bentuk kata yang menunjukkan kepada sesuatu lebih dari dua,[3] seperti kata مسلمون. Jama’ dibagi menjadi tiga : Jama’ mudzakar salim, Jama’ muannats salim, dan Jama’ taksir.
Jama’ mudzakar salim adalah bentuk Jama’ yang menunjukkan kepada tiga hal atau lebih, dengan menambahkan wau dan nun di saat rafa’, atau menambahkan ya dan nun disaat jar dan nasab.[4] Adapun yang bisa dijadikan Jama’ mudzakar salim adalah isim alam[5] dan sifat, seperti عليون dan مخلصون .
Jama’ muannats salim adalah bentuk Jama’ yang menunjukan kepada tiga hal atau lebih, dengan menambahkan alif dan ta dari bentuk mufradnya.[6] Adapun syarat-syarat lafadz yang bisa dijadikan Jama’ muannats salim adalah : dunia wanita beserta sifat-sifatnya, lafadz yang diakhiri dengan ta, diakhiri dengan alif ta’nitsal-Maqshurah, diakhiri dengan alif ta’nits al-Mamdudah, sifat ghair ‘aqil.[7]
Jama’ taksir adalah bentuk Jama’ yang menunjukkan kepada tiga hal atau lebih dengan menrubah bentuk mufrad-nya. Jama’ taksir merupakan bentuk Jama’ yang umum dipakai baik untuk yang berakal ataupun yang tidak berakal, muannats ataupun mudzakar. Jama’ taksir dibagi menjadi dua :

a. Jama’ qillah
Jama’ qillah menunjukkan kepada hitungan tiga hingga 10.[8] Jama’ qillah memiliki 4 wazan : أفعُل, أفعال, أفعلة, فِعلة.

b. Jama’ Katsrah
Jama’ katsrah menunjukkan kepada hitungan 10 atau lebih.[9] Adapun waza-wazan-nya berjumlah 23 : فُعْل, فُعٌل, فُعَل, فِعَل, فُعَلَة, فَعَلة, فعلي, فِعلة, فُعًل, فُعًال,فعال,فعول, فعلان, فُعلان, فعلا, أفعلا, فواعل, فعائل, فعالي, فعلَي, فعاليًَ, فعالل, شبه فعالل. [10] .

Rahasia Di balik Ragam Jama’ untuk Mufrad yang Sama
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa ragam jama’ ini mengandung nilai kesusastraan yang tinggi, bukan sekedar perbedaan lahjah, maka perlu kiranya membahas dan meneliti latar belakang kesusastraan yang mempengaruhi al-Qur’an sehingga menggunakan ragam bentuk jama’ untuk satu mufrad.
Para ulama telah menetapkan beberapa sebab munculnya ragam bentuk jama’ ini. Namun penulis tidak akan membahasnya semua, hanya beberapa sebab saja. Di antaranya:
Menunjukkan kepada al-qillah dan al-katsrah
Terkadang perbedaan dua bentuk Jama’ yang berasal dari satu mufrad yang sama menggambarkan tiga hal :

a. P enggambaran dengan Jama’ qillah berhadapan dengan Jama’ katsrah
Jama’ qillah dan jama’ katsroh adalah dua jenis jama’ yang berasal dari jama’ taksir. Dalam al-Qur’an ditemukan bahwa keduanya dipakai dalam tempat yang berbeda.
Contohnya adalah lafadz أنعم dan نعم. Lafadz أنعم terdapat dalam dua ayat, yaitu surat an-Nahl ayat 112"فكفرت بأنعم الله " “tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah”.dan ayat 121 " وشاكرا لأنعمه" “...(lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Sedangkan lafadz نعم. Terdapat dalam surat Luqman ayat 20 : وأسبغ عليكم نعمه ظارة وباطنة“ dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.
Lafadz أنعم menunjukkan arti sedikit (qillah ) karena ayat pertama bercerita tentang penduduk desa dan ayat kedua bercerita tentang satu individu yaitu Ibrahim as. Menurut kaedah bahwa pembatasan terhadap jumlah manusia menunjukkan pembatasan nikmat pula. Sedangkan dalam surat Luqman khitab-nya adalah umum, mencakup setiap manusia. Maka penggunaan lafadz ni’mah ini menunnjukkan atas banyaknya nikmat allah bagi manusia.

b. Penggambaran dengan Jama’ salim berhadapan dengan Jama’ taksir
Contoh kalimat سنبلات dan سنابل . Lafadz سنبلات terdapat dalam surat Yusuf ayat 43 إني أري سبع بقرات سمان يأكلهن سبع عجاف وسبع سنبلات خضر dan 64. Sedangkan lafadz سنابل terdapat dalam surat al-Baqoroh ayat 261 كمثل حبة أنبتت سبع سنابل.
Penggunaan Jama’ muannats salim menunjukkan pada makna qillah . Sedangkan penggunaan Jama’ taksir menunjukkan pada makna katsrah atau banyak.

2. Menunjukkan yang Umum dan khusus
Kata أنفس dan نفوسberasal dari mufrad yang sama. Lafadz نفوس hadir sebanyak 153 kali dalam al-Qur’an. Lafadz nufuus mengandung arti arwah manusia. Seperti dalam surat al-Isra ayat 25 ربكم أعلم بما في نفوسكم ., dan surat at-Takwir ayat 7 زوجت وإذا النفوس dilalah-nya ditemukan dari keterangan ayat lain bahwa yang dibangkitkan kelak adalah arwah bukan jasad. Jadi lafadz nufus di sini bermakna khusus.
Adapun lafadz anfus bermakna umum. Seperti dalam surat al-Baqoroh ayat 235واعلموا أن الله يعلم ما في أنفسهم , dan surat Hud ayat 31 الله أعلم بما في أنفسهم .

3. Menunjukkan nama atau sifat
Al-Qur’an menggunakan Jama’ taksir untuk menunjukan nama di satu sisi, dan di sisi yang lain menggunakan Jama’ salim untuk menunjukkan sifat. Seperti lafadz راس dan راسيات . lafadz raasun hadir sebanyak 9 kali dalam bentuk mat’ul bih, yaitu dalam surat ar-Ra’du ayat 3 وجعل فيها رواسي وأنهارا. Lafadz rawaasiya di sini berarti gunung-gunung.
Adapun lafadz rasiyaatu hadir dalam surat Saba ayat 13 وقدور الراسيات. periuk yang tetap (berada di atas tungku). Arti bentuk Jama’ di sini adalah sifat menetap. Arti rasiyat : yang tetap, tidak berubah dan bergerak karena kebesarannya.[11]

4. Menunjukkan kepada Muanats dan Mudzakar
Contohnya lafadz قواعد, قعود, قاعدون . lafadz qawa’id menunjukkan kepada muannats sebagai bentuk Jama’ dari qoo’idah, yang berarti wanita yang telah berhenti dari haid dan nikah. Lafadz ini hadir dalam surat an-Nur ayat 60 والقواعد من النساء اللاتي لابرجون نكاحا ........ . sedangkan lafadz qu’uud dan qoo’iduuna menunjukan mudzakar

5. Menunjukkan kepada yang berakal dan yang tidak berakal
Contohnya adalah lafadz أخرون dan أخر . Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Jama’ mudzakar salim hanya digunakan bagi yang berakal saja. Maka lafadz akhoruuna di sini yang merupakan bentuk mudzakar salim, selalu disandingkan dengan hal-hal yang berakal, seperti dalam surat at-Taubah ayat 102 بذنوبهم اعترفوا وأخرون . sedangkan lafadz ukhor menunjukan kepada hal yang tidak berakal, seperti dalam surat al-Baqoroh ayat 184 فعدة من أيام أخر.

6. Menetapkan ketunggalan sifat atau mubalaghah
Ada satu kaedah yang mengatakan bahwa penambahan huruf berimplikasi pada bertambahnya arti. Mungkin kaedah ini dapat kita terapkan dalam dua bentuk Jama’ dari mufrad yang sama, yaitu lafadz فجار dan فجرة . lafadz fujjar hadir sebanyak 3 kali yang kesemuanya menunjukkan pada sifat mubalaghah, seperti dalam surat Shad ayat 28 أم نجعل المتقين كالفجار. Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma'siat?. Sedangkan lafadz fajaroh terdapat dalam surat Abasa ayat 42 ألئك هم الكقرة الفجرة. Lafadz fijjar dalam surat Shad mengandung arti sifat durhaka yang sangat durhaka. Sedangkan lafadz fajaroh menunjukkan sifat durhaka yang lebih rendah.

D. Penutup
Ragam bentuk jama’ untuk mufrad yang sama menyimpan satu nilai kesusastraan yang tinggi, sulit ditandingi. Al-Qur’an begitu cerdas memilih kata untuk menjelaskan ataupun menyampaikan suatu nilai tanpa mereduksi nilai tersebut. Penggunaan ragam bentuk jama’ untuk mufrad yang sama menjadi pembeda antara al-Qur’an dengan krya-karya yang lainnya, di mana setiap bentuk jama’ memiliki makna yang berbeda sesuai dengan peletakkannya.
Namun demikian penggunaan ragam bentuk jama’ untuk mufrad yang sama dalam al-Qur’an masih memerlukan kajian yang mendalam dan komperehensif. Apalagi dengan perkembangan ilmu kebahasaan kini memungkinkan bagi kita menggali al-Qur’an dari perspektif yang berbeda, sehingga ditemukan keagungan nilai kesusastraannya.
Wallahu a’lam bi as-shawab



Referensi

· Dr. Ahmad Mukhtar Umar, Dirasat Lughawiyah fi al-Qur’an al-Karim. Kairo: Alam al-Kutub, 2001, cet ke-1
· Fuad Nu’mah, Mulakhis Qawaid al-Lughah al-‘Arabiyyah. Damaskus: Dar al-Hikmah, tth, cet ke-9
· Dr. Muhammad Syahrur.al-Kitab wa al-Qur’an:Qiraah Mu’ashirah.Beirut:Syirkah al-Mathbu’ah, 2000, cet ke-6, hal. 179
· Dr. amin Ali Sayid.Fi Ilmi as-Sharf. Mesir:Dar al-Ma’arif, 1976, cet ke-3
Ahmad al-Hamlawi. Kitab Syadz al-‘Azaf fi Fanni al-Sharf. Mesir: Syirkah Maktabah wa matba’ah, tth.
[1] Dr. Muhammad Syahrur.al-Kitab wa al-Qur’an:Qiraah Mu’ashirah.Beirut:Syirkah al-Mathbu’ah, 2000, cet ke-6, hal. 179
[2] Dr. Ahmad Mukhtar Umar, Dirasat Lughawiyah fi al-Qur’an al-Karim. Kairo: Alam al-Kutub, 2001, cet ke-1, hal. 203
[3] Fuad Nu’mah, Mulakhis Qawaid al-Lughah al-‘Arabiyyah. Damaskus: Dar al-Hikmah, tth, cet ke-9, hal. 20
[4] Dr. Amin Ali Sayid.Fi Ilmi as-Sharf. Mesir:Dar al-Ma’arif, 1976, cet ke-3, hal 95
[5] Isim alam haruslah dalam bentuk mudzakar dan berakal. Sedangkan isim sifat harus pula berakal, bebas dari ta. Lih. Fuad Nu’mah, Ibid, hal. 21
[6] Fuad Nu’mah,Ibid, hal 23
[7] Ibid,hal.24
[8] Ahmad al-Hamlawi. Kitab Syadz al- ‘Azaf fi Fanni al-Sharf. Mesir: Syirkah Maktabah wa matba’ah Musthafa al-Babi al-Habli, 1964, cet ke-15, hal.101
[9] Dr. Amin Ali Sayyid,Ibid,hal. 111
[10] Ahmad al-Hamli,Ibid,hal. 103-112
[11] Dr. Ahmad Mukhtar Umar, Ibid, hal 220
di salin dari www.bimsislam.depag.go.id

0 komentar: