MUHITHUL ULUM

"Jadilah Kamu Orang yang Mengajarkan Ilmu atau Pencari Ilmu atau Pendengar dan Jangan Menjadi Orang yang ke Empat"

TEORI LAFAZ TERHADAP MAKNA:
Perbandingan Antara Metode Hanafiyah dan Mutakallimin

A. Pendahuluan
Perbedaan penemuan hukum (istinbat al-ahkam) terjadi akibat beberapa faktor, baik internal maupun eksternal. Salah satu faktor penyebab perbedaan tersebut, secara internal, adalah perbedaan metode ulama Usul dalam memahami makna nass, al-Qur’an dan Hadis, melalui lafaz (turq dilalah al-alfaz).

Ada dua metode (manhaj) yang berkembang tentang lafaz tersebut - juga dikenal sebagai dua aliran besar dalam Usul al-Fiqh - yaitu, Metode Hanafiyah dan Metode Mutakallimin yang masing-masing memiliki rumusan tersendiri. Dengan demikian, perbedaan persepsi dalam penemuan hukum, seperti telah diungkapkan, terkesan wajar dan dianggap lumrah.
Tulisan ini akan membahas konsep lafaz yang dirumuskan oleh kedua metode tersebut. Titik temu keduanya akan dideskripsikan dengan menggunakan pendekatan komparatif. Namun, tulisan ini tidak berpretensi untuk memberikan penilaian terhadap keabsahan kedua metode tersebut.

B. Lafaz Menurut Metode Hanafiyah
Pakar Usul Hanafiyah sepakat bahwa lafaz ada yang dapat dipahami langsung secara tekstual dan ada yang tidak. Yang dapat dipahami langsung, ada yang mengandung mana eksplisit dan ada yang inplisit. eksplisit tersebut umum disebut ‘ibarah an-nass, Sementara yang inplisit disebut isyarah an-nass. Adapun lafaz yang tidak dapat dipahami secara tekstual, ada kalanya dapat dipahami melalui kaedah bahasa dan ada yang melalui pendekatan syara’ atau logika. Yang pertama disebut dilalah an-nass, dan kedua disebut iqtida’ an-nass. Klasifikasi tersebut - ‘ibarah an-nass, isyarah an-nass, dilalah an-nass, dan iqtida’ an-nass - merupakan pembagian lafaz dalam memahami makna nass menurut Hanafiyah.
Untuk lebih lanjut, dirasa perlu mendeskripsikan substansi masing-masing tersebut, guna pemahaman lebih mendalam dan persamaan persepsi.

1. ‘Ibarah an-Nass
As-Sarakhsi (w. 490 H.) berpendapat bahwa ‘ibarah an-nass adalah ungkapan yang dapat dipahami langsung, diketahui sebelum menggunakan pengamatan atau pemikiran, dan zahir nass telah mendeskripsikannya. Menurut Abu Zahrah, ‘ibarah an-nass tidak hanya dapat dipahami melalui lafaz zahir semata, melainkan juga dapat dipahami melalui lafaz nass, lafaz muhkam, maupun lafaz mufassar. Menurut al-Khinn, suatu ungkapan disebut ‘ibarah an-nass, bila ungkapan tersebut mengandung makna langsung (asalah) atau makna tidak langsung (tab’an).

Berdasarkan pendekatan defenitif tersebut, suatu nass mengandung ‘ibarah apabila memenuhi beberapa unsur, di antaranya: terdiri dari lafaz zahir, nass, muhkam, atau mufassar; dapat dipahami tanpa melalui proses pengamatan (qabl at-ta’ammul); dan memiliki makna eksplisit, baik langsung atau tidak. Misalnya Firman Allah SWT tentang kebolehan berumah tangga. ‘ibarah an-nass yang diperoleh berdasarkan ungkapan tersebut adalah: Kebolehan berumah tangga, Kebolehan mempunyai istri lebih dari satu orang, dan tentang kewajiban membatasi untuk menikahi seorang wanita, jika ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil bila mempunyai istri lebih dari seorang.

2. Isyarah an-Nass
Isyarah an-nass adalah ungkapan yang mengandung makna inplisit, yang dapat dipahami melalui proses pengamatan tanpa menambah atau mengurangi lafaz. Dengan ungkapan yang berbeda, Abu Zahrah menyatakan bahwa isyarah an-nass merupakan kesimpulan (natijah) dari sebuah ungkapan yang dipahami dari ‘ibarah, namun terlepas dari lafaz ‘ibarah tersebut. Dalam Kitab Kasyf al-Asrar dinyatakan bahwa ungkapan tersebut diperoleh melalui rangkaian ungkapan ‘ibarah, namun bukan sebagai tujuan, juga bukan nass, serta bukan merupakan bentuk zahir. Wahbah az-Zuhaili menyatakan, lafaz bukan merupakan maksud secara langsung dan tidak langsung, melainkan mengandung makna yang dapat diperoleh dengan segera melalui ungkapan lafaz. Maksudnya adalah makna yang tergambar dari lafaz tersebut.
Dengan mengacu pada batasan terminologis sebelumnya, suatu ungkapan mengandung isyarah apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut: merupakan ungkapan yang memiliki makna inplisit; dipahami melalui proses pengamatan; tanpa menambah atau mengurangi teks nass, merupakan rangkaian 'ibarah, maknanya terlepas dari lafaz ‘ibarah, serta bukan mengandung makna langsung atau sebaliknya.
Firman Allah mengenai masa kehamilan minimal 6 bulan dapat dijadikan contoh. Makna isyarah ayat tersebut adalah bahwa masa kehamilan minimal adalah 6 bulan. Dan tersebut bukan makna yang segera diperoleh dari makna lafaz secara tekstual.

3. Dilalah an-Nass
Dalam Kitab Kasyf al-Asrar dinyatakan bahwa dilalah an-nass merupakan penetapan yang diperoleh melalui makna ungkapan nass secara lugawiyah, tanpa ijtihad dan istinbat. Al-Khinn menjelaskan, pada mulanya sebagian pakar Usul Hanafiyah berbeda pendapat mengenai batasan pengertian dilalah an-nass. Namun ada kesepakatan di antara mereka, bahwa dilalah an-nass merupakan lafaz yang digunakan untuk penetapan hukum dan diketahui oleh setiap orang yang bisa berbahasa Arab karena adanya indikasi tanpa terlebih dahulu melalui ijtihad.
Adapun unsur-unsur lafaz dilalah an-nass dapat dirumuskan sebagai berikut: makna yang diperoleh merupakan jiwa nass; penetapan makna bukan melalui proses ijtihad atau istinbat, dan makna tersebut dapat dipahami oleh orang yang mempunyai pengetahuan bahasa Arab; serta adanya implikasi dari makna lafaz untuk memahami hal yang tidak disebutkan lafaz. Contohnya, Firman Allah SWT tentang larangan ta'fif: Kandungan ibarah an-nass ayat tersebut adalah larangan ta’fif dengan alasan bahwa perbuatan tersebut menyakiti orang tua (al-iza’). dilalah an-nass ungkapan tersebut adalah larangan untuk memukul, memaki, memarahi orang tua, dll.

4. Iqtida’ an-Nass
Batasan iqtida’ an-nass menurut Abu Zahrah adalah lafaz yang tidak bisa dipahami kecuali dengan mentaqdirkannya. Ditegaskan oleh al-Khinn, suatu disebut iqtida’ an-nass bila kebenaran atau kesahihan sebuah makna secara syara’ atau ‘aqliyyah yang tergantung pada makna di luar lafaz. Dengan demikian, unsur-unsur iqtida’ an-nass adalah: makna yang diinginkan berada pada lafaz yang ditaqdirkan; dan lafaz dapat dipahami dengan bantuan syari’ah dan logika.

C. Lafaz Menurut Metode Mutakallimin
Secara umum, pakar Usul Mutakallimin membagi lafaz kepada mantuq dan mafhum. Berikut dipaparkan:

Mantuq
Menurut as-Syaukani (w. 1255 H.), mantuq merupakan lafaz yang diketahui dari objek penuturan (fi mahl an-natq), artinya, hukum yang disebutkan lafaz dan sebagai keadaan yang sebenarnya (hal min ahwalihi). Al-Khinn sependapat dengan batasan tersebut, namun ia menegaskan bahwa mantuq tidak terbatas pada hukum an-sich. Selanjutnya Mutakallimin sependapat bahwa mantuq terdiri dari mantuq sarih dan gair sarih. Mantuq sarih adalah lafaz dari segi kesesuaian (mutabaqah) dan cakupan (tadammum). Misalnya: Firman Allah SWT tentang riba. mantuq sarih nass tersebut adalah kehalalan jual beli dan keharaman riba. Adapun mantuq gair sarih adalah yang mengandung kemestian (iltizam), bukan kesesuaian dan cakupan. Seperti Firman Allah tentang nisbah anak. Mantuq gair sarih ayat tersebut adalah bahwa anak dinisabkan kepada ayah dan ibunya dan nafkah anak adalah tanggung jawab ayahnya, bukan ibu.

Mantuq gair sarih dapat diklasifikasikan menjadi tiga pembagian:
Dilalah iqtida’; yang mengabstraksikan bahwa maksud si pembicara tergantung pada makna di luar lafaz.
Dilalah al-Ima’; yang beriringan dengan ketetapan, dan jika tidak beriringan karena suatu illat, niscaya akan jauh pada makna yang dikandungnya. misalnya Firman Allah SWT tentang hukuman bagi pencuri. Melalui pendekatan al-ima’ dapat diketahui bahwa perintah potong tangan terkait dengan sifat pencurian, jika sifat tersebut bukan sifat sebagai illat hukum yang terkait dengan perintah potong tangan, maka niscaya tidak akan ada kebersamaan makna.
Dilalah isyarah; yang bukan merupakan maksud pembicaraan. Misalnya Firman Allah SWT tentang masa kehamilan. isyarah yang muncul berdasarkan kedua ayat tersebut adalah bahwa masa kehamilan minimal adalah 6 bulan. Dan tersebut bukan makna yang segera diperoleh dari makna lafaz secara tekstual.

Mafhum
Mafhum adalah lafaz yang bukan merupakan objek penuturan. Maksudnya bahwa ketetapan tersebut merupakan ketetapan terhadap makna yang tidak disebutkan. Jumhur Mutakallimin sepakat bahwa, mafhum dapat dibedakan pada dua pembagian:
Mafhum Muwafaqah. Disebut mafhum muwafaqah bila lafaz mantuq suatu ungkapan sesuai dengan yang tidak disebutkan. tersebut diperoleh tanpa memerlukan ijtihad. lafaz tersebut disebut mafhum muwafaqah karena yang tidak disebutkan sama hukumnya dengan yang disebutkan. Jumhur Mutakallimin juga sepakat bahwa mafhum muwafaqah dapat dibedakan menjadi:
Fahw al-Khitab; jika mafhum tersebut lebih utama (lebih tinggi tingkatannya). Misalnya Firman Allah SWT tentang larangan ta'fif. Kandungan mantuq ayat tersebut adalah larangan ta’fif dengan alasan bahwa perbuatan tersebut menyakiti orang tua (al-iza’). fahw al-khitab yang diperoleh adalah larangan memukul, memaki, memarahi orang tua, dll.
Lahn al-khitab, jika mafhum tersebut memiliki tingkatan yang sama (musawi). Misalnya Firman Allah SWT tentang keharaman memakan harta anak yatim. Makna mantuq ayat tersebut adalah keharaman memakan harta anak yatim dengan zalim. lafaz lahn al-khitab-nya adalah bahwa membakar atau menyia-nyiakan harta anak yatim juga haram. Penyamaan tersebut karena memakan dan membakar harta anak yatim bersifat memusnahkan atau menghabisi harta tersebut.
Mafhum Mukhalafah. lafaz pada ungkapan yang tidak disebutkan memiliki konsekuensi yang berbeda dari lafaz yang mantuq. Mafhum ini juga disebut dalil al-khitab. Misalnya Firman Allah SWT tentang keharaman menikahi hamba perempuan. mantuq ayat tersebut adalah sesuai dengan pemahaman langsung. Sementara mafhum mukhalafah yang dikandung ayat tersebut adalah keharaman untuk menikahi hamba perempuan bagi orang yang dapat memenuhi nafkah bila menikahi wanita mukmin yang merdeka.

D. Analisa Perbandingan
Ketika mendeskripsikan uraian sebelumnya, hipotesa yang muncul adalah adanya kesan pemahaman yang hampir sama, antara metode Hanafiyah dan Mutakallimin dalam memahami esensi dan substansi lafaz. Sebagian besar perbedaan terma-terma yang digunakan mengandung esensi yang sama antara Metode Hanafiyah dan Mutakallimin. Perbedaan juga lumrah terjadi dalam tatanan pengembangan rumusan masing-masing metode. Meskipun keduanya beranjak dari konsep dasar yang sama, yaitu penelusuruan terhadap lafaz dalam konteks upaya pemahaman terhadap makna nass.
Dari sudut pandang terma-terma yang digunakan; golongan Hanafiyah menggunakan ‘ibarah an-nass, isyarah an-nass, dilalah an-nass, dan iqtida’ an-nass. Sementara golongan Usul Mutakallimin menggunakan terma seperti mantuq sarih, gair sarih (dilalah iqtida’, dilalah al-ima’ dan dilalah isyarah), mafhum muwafaqah, dan mafhum mukhalafah. Kedua golongan tersebut sepakat dalam menggunakan terma isyarah dan iqtida’. Dari segi maksud dan tujuan, lafaz kedua terma tersebut juga memiliki substansi yang sama. Artinya, isyarah dan iqtida’ yang dimaksud oleh Hanafiyah sama dengan apa yang dimaksud Mutakallimin. Bagi golongan Hanafiyah, isyarah dan iqtida’ merupakan pembagian inti lafaz, sementara bagi Mutakallimin, kedua tersebut merupakan bagian dari mantuq gair sarih.
Berdasarkan pendekatan defenisi, diketahui pula bahwa ada di antara terma-terma berbeda dari kedua golongan tersebut memiliki substansi yang sama, seperti terma ibarah an-nass menurut Hanafiyah dikenal dengan terma mantuq sarih menurut Mutakallimin. Demikian juga halnya dengan terma dilalah an-nass bagi kalangan Hanafiyah dikenal dengan terma mafhum wuwafaqah menurut Mutakallimin. Bedanya, Mutakallimin membagi mafhum mukhalafah kepada fahw al-khitab dan lahn al-khitab, sementara Hanafiyah tidak menjabarkan dilalah an-nass. Dari deskripsi sebelumnya, dapat dipahami bahwa Hanafiyah tidak mengenal mafhum mukhalafah, bahkan menganggapnya sebagai istidlal yang fasid.
Dalam konteks dilalah an-nass atau mafhum muwafaqah, kalangan mutakallimin seperti Syafi’i, Hambali dan ar-Razi’ mendudukkannya sebagai Qiyas. Menurut ada pula beberapa ulama Mutakallimin, terutama dari golongan Asy’ariyah dan Mu’tazilah, yang menyatakan bahwa mafhum mukhalafah bukan merupakan Qiyas melainkan makna yang segera dapat diperoleh dari keadaan yang sebenarnya. Kalangan Hanafiyah sepakat untuk tidak menjadikan dilalah an-nass sebagai Qiyas karena penetapan hukum diperoleh dari pemahaman terhadap makna nass, bukan melalui qiyas.
Selanjutnya mengenai tingkatan masing-masing lafaz, ulama Hanafiyah sepakat bahwa lafaz yang paling tinggi tingkatannya adalah ‘ibarah nass, kemudian isyarah an-nass, kemudian dilalah an-nass, dan iqtida’ an-nass. Pada dasarnya golongan Mutakallimin sepakat dengan tingkatan tersebut kecuali tentang keberadaan isyarah dan dilalah an-nass.
Menurut Syafi’iy, dilalah an-nass lebih didahulukan daripada isyarah an-nass. Alasan yang dipergunakan adalah bahwa dilalah an-nass dapat dipahami secara langsung dari pendekatan bahasa. Dengan demikian, pemahamannya lebih mendekati makna yang dikandung oleh ‘ibarah an-nass. Sedangkan isyarah an-nass lebih cenderung memandang pemahaman yang inplisit. Hanafiyah beralasani bahwa isyarah an-nass diperoleh dari rangkaian ‘ibarah an-nass. Selain itu, isyarah an-nass berada dalam cakupan lafaz yang mantuq, sedangkan ‘ibarah an-nass berada dalam cakupan lafaz yang mafhum.
Salah satu contoh perbedaan penemuan hukum, akibat pertentangan pemahaman antara Syafi’i dan Hanafi dalam konteks isyarah an-nass dan dilalah an-nass, adalah dalam memahami Firman Allah SWT tentang pembunuhan sengaja. Makna inplisit ayat tersebut adalah bahwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja tidak terkena hukuman dunia. Kemudian dihubungkan dengan ayat lain. Makna berdasarkan pendekatan dilalah an-nass menunjukkan bahwa kalau pembunuhan karena tersalah dikenakan kifarat, tentu juga kifarat tersebut diberlakukan pada pembunuhan dengan sengaja.
Konsekuensi logisnya, menurut Hanafiyah; orang yang melakukan pembunuhan dengan cara sengaja tidak dikenakan kifarat. Alasannya, mereka lebih mendahulukan isyarah an-nass dari pada ‘ibarah an-nass. Sementara menurut Syafi’iyah; orang yang melakukan pembunuhan dengan cara sengaja dikenakan sanksi kifarat. ***

E. Penutup
Pada dasarnya kedua metode lafaz dalam penemuan hukum memiliki pandangan dan terma-terma yang hampir sama. Persamaan antara kedua metode tersebut terletak pada konsepsi mereka tentang isyarah dan iqtida’ an-nass. Dari segi maksud dan tujuan, lafaz kedua terma tersebut juga memiliki substansi yang sama. Artinya, isyarah dan iqtida’ yang dimaksud oleh Hanafiyah sama dengan apa yang dimaksud Mutakallimin. Bagi golongan Hanafiyah, isyarah dan iqtida’ merupakan pembagian inti lafaz, sementara bagi Mutakallimin, kedua tersebut merupakan bagian dari mantuq gair sarih.
Diketahui pula bahwa ada di antara terma-terma berbeda dari kedua golongan tersebut memiliki substansi yang sama, seperti terma ibarah an-nass menurut Hanafiyah dikenal dengan terma mantuq sarih menurut Mutakallimin. Demikian juga halnya dengan terma dilalah an-nass bagi kalangan Hanafiyah dikenal dengan terma mafhum wuwafaqah menurut Mutakallimin. Dari deskripsi sebelumnya, juga dapat dipahami bahwa Hanafiyah tidak mengenal mafhum mukhalafah, bahkan menganggapnya sebagai istidlal yang fasid.
DAFTAR BACAAN
Abu Zahrah, Muhammad, Usul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Kairo, 1377 H./1958.
Al-Amidi, Syaif ad-Din Abu Hasan ‘Ali ibn Abu ‘Ali ibn Muhammad, al-Ihkam fi Usul al- Ahkam, Juz I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon, t.t.
Al-Bukhari, ‘Ala’u ad-Din ‘Abd al-‘Aziz ibn Ahmad, Kasyf al-Asrar; ‘An Usul Fakhr al-Islam al-Bazdawi, Juz I, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, Libanon, t.t.
Al-Khinn, Mustafa Sa’id, Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, Libanon, 1392 H./ 1972 M.
As-Sarakhsi, Usul as-Sarakhsi, ditahqiq oleh Abu al-Wafa al-Afgani, Juz I, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Libanon, 1393 H./1973 M.
As-Syarbaini, ‘Abd ar-Rahman, Hasyiah al-‘Alamah al-Bannani ‘ala Syarh Jam’ al-Jawami’, Juz I, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah Ashabiha ‘Isa al-Babi al-Halabi, Mesir, t.t.
As-Syaukani, Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Usul, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, t.t.
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Ma’asir, Beirut, Libanon, 1416 H./ 1995 M.

0 komentar: