MUHITHUL ULUM

"Jadilah Kamu Orang yang Mengajarkan Ilmu atau Pencari Ilmu atau Pendengar dan Jangan Menjadi Orang yang ke Empat"

Rahasia Ragam Bentuk Jama' Untuk Satu Mufrod
28 February 2009 Jaja Zarkasyi, S.Th.I

A. Pendahuluan

Berbicara masalah al-Qur’an tak bisa dilepaskan dari ketinggian bahasanya yang melampaui jaman dan waktu. Al-Qur’an yang lahir beberapa abad ke belakang ternyata mampu bertahan dari segala bentuk perkembangan jaman. Tidak pernah sedikitpun al-Qur’an tereliminasi dari realitas kehidupan suatu jaman. Bahkan al-Qur’an menjadi sumber bagi pembangunan suatu peradaban.
Bagi kalangan ahli bahasa, al-Qur’an pada dasarnya memiliki karakteristik yang sama dengan bahasa Arab secara khusus dan bahasa-bahasa lainnya. Hal ini ditandai dengan dapat dimengertinya struktur dan kaedah kebahasaan yang dipakai al-Qur’an. Namun demikian, walaupun para ahli bahasa mengerti dan paham akan karakteristik bahasa al-Qur’an, mereka tetap tidak mampu menandingi nilai kesusastraan al-Qur’an tinggi.
Seorang sarjana muslim kontemporer, Muhammad Syahrur mencoba menjelaskan sisi kemukjizatan al-Qur’an. Syahrur menyebut bahwa mu’jizat para nabi sebelum Nabi saw adalah berupa fenomena alam. Ibrahim tidak terbakar oleh api yang melahapnya, Musa dengan tongkat nya, Isa as dengan kemampuannya menghidupkan orang mati. Sehingga penafsiran terhadap fenomena alam ini bersifat tunggal. Sedangkan al-Qur’an mengambil bentuk deskriptif, atau dengan kata lain memilih teks sebagai media penyampaiannya. Sedangkan al-Qur’an merupakan jelmaan dari kesempurnaan ajaran Tuhan. Kekuatan al-Qur’an terletak pada kekuatan teks-nya yang sempurna. Kesempurnaan redaksi al-Qur’an karena berposisi sebagai penyempurna dan penutup ajaran para Nabi saw. Dengan tidak akan dikirim laginya seorang nabi, maka al-Qur’an harus menjelma dalam bentuk teks yang kekal dan dapat hidup sepanjang masa. Kemu’jizatan al-Qur’an di sini berarti haruslah abadi, dalam artian selama-lamanya tidak bisa ditandingi.
Lalu Syahrur melihat beberapa ciri kemukjizatan al-Qur’an yang telah melemahkan siapapun yang mencoba menandinginya, yaitu adanya tasyabuh. Syahrur melihat dua jenis tasyabuh : rasionalitas al-Qur’an yang mendahului pengetahuan indrawi, dan relativitas pemahaman dan menetapkan ke-absolutan sang pemilik teks. Al-Quran menggunakan redaksi yang tetap ketika menjelaskan atau berbicara akan hukum alam. Namun, setiap bertambahnya zaman yang disertai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, teks al-Qur’an tetpa tegak. Bahkan dari teks yang absolut itu telah melahirkan teori-teori ilmiah atas kajian inderawi. Artinya kemajuan zaman beserta ilmu pengetahuannya tidak lantas menyebabkan al-Qur’an lemah atau mungkin kalah.
Ciri kemukjizatan lainnya terletak pada karakteristik linguistik. Syahrur membagi linguistik al-Qur’an ini kepada dua bentuk : bentuk ilmiah objektif dan bentuk redaksi sastra. Al-Qur’an memiliki bidang kajian ilmiah yang objektif. Hal ini sama seperti yang dihasilkan oleh Isac Newton, Albert Einstein dan yang lainnya yang mampu mengartikulasikan teori-teori mereka. Pertanyaannya adalah mampukan Newton dan Albert Einstein menyusun teori-teori ilmiahnya ini dengan menggunakan media sastra milik para pujangga tanpa mengurangi kedalaman kajiannya? Inilah awal kita bisa memahami konsep I’jazul qur’an Syahrur. Inilah yang telah dilakukan al-Qur’an yaitu mengkaji secara ilmiah dan mendalam, kemudian menyajikannya dengan cita rasa sastra yang tinggi.
Di sinilah Syahrur mengatakan bahwa salah satu letak i’jaz al-Qur’an adalah pada ketinggian bahasa dalam mengungkapkan suatu teori ilmiah. Al-Qur’an begitu indah dan cerdas dalam memilih kata, sehingga isi di balik teks dapat tersampaikan dengan baik tanpa mengalami reduksi.[1] Tidak itu saja, bahwa al-qur’an juga begitu cerdas dalam meletakkan setiap bentuk kalimat untuk satu tujuan tersendiri.
Salah satu kecerdasan al-Qur’an dalam memilih kata dan meletakkannya dalam kalimat adalah ragam kalimat jama’ untuk mufrad yang sama. Dalam al-Qur’an dapat kita jumpai beberapa bentuk jama’ tetapi berasal dari mufrad yang sama. Dr. Ahmad Mukkhtar Umar dalam penelitiannya bahwa terdapat 57 kata yang memiliki bentuk Jama’ yang lebih dari satu.[2]
Ragam bentuk jama’ untuk mufrad yang sama menjadi rahasia tersendiri bagi al-Qur’an. Lalu apakah motif di balik semua ini? Apakah hal ini disebabkan oleh perbedaan lahjah seperti halnya terjadi dalam qiraah? Ataukah unsur kesusastraan memang berada di balik ini semua?.
Jika Ragam bentuk Jama’ untuk mufrad yang sama ini disebabkan perbedaan lahjah, maka pembahasannya akan selesai sampai pada pencarian asal-usul lafadz-lafadz tersebut. Tidak ada yang perlu dilebihkan di sini, karena perbedaan lahjah ini tidak berimplikasi pada nilai kesusastraan.
Lain halnya jika Ragam bentuk Jama’ untuk mufrad yang sama ini bagian dari nilai sastra al-Qur’an, maka hal ini akan sangat menarik dan menjadi pembahasan yang sangat panjang serta mnenarik. Kecerdikan al-Qur’an memilih kata menjadi fokus kajian. Pelacakan akan asal-usul Ragam bentuk Jama’ untuk mufrad yang sama ini dapat meliputi sejarah kebahasaan, filsafat bahasa, kaedah bahasa dan sejenisnya.
Jelaslah di sini bahwa Ragam bentuk Jama’ untuk mufrad yang sama menunjukkan ketinggian nilai sastra al-Qur’an. Berikut beberapa kajian seputar Ragam bentuk Jama’ untuk mufrad yang sama.

Kaedah Jama’

Jama’ adalah bentuk kata yang menunjukkan kepada sesuatu lebih dari dua,[3] seperti kata مسلمون. Jama’ dibagi menjadi tiga : Jama’ mudzakar salim, Jama’ muannats salim, dan Jama’ taksir.
Jama’ mudzakar salim adalah bentuk Jama’ yang menunjukkan kepada tiga hal atau lebih, dengan menambahkan wau dan nun di saat rafa’, atau menambahkan ya dan nun disaat jar dan nasab.[4] Adapun yang bisa dijadikan Jama’ mudzakar salim adalah isim alam[5] dan sifat, seperti عليون dan مخلصون .
Jama’ muannats salim adalah bentuk Jama’ yang menunjukan kepada tiga hal atau lebih, dengan menambahkan alif dan ta dari bentuk mufradnya.[6] Adapun syarat-syarat lafadz yang bisa dijadikan Jama’ muannats salim adalah : dunia wanita beserta sifat-sifatnya, lafadz yang diakhiri dengan ta, diakhiri dengan alif ta’nitsal-Maqshurah, diakhiri dengan alif ta’nits al-Mamdudah, sifat ghair ‘aqil.[7]
Jama’ taksir adalah bentuk Jama’ yang menunjukkan kepada tiga hal atau lebih dengan menrubah bentuk mufrad-nya. Jama’ taksir merupakan bentuk Jama’ yang umum dipakai baik untuk yang berakal ataupun yang tidak berakal, muannats ataupun mudzakar. Jama’ taksir dibagi menjadi dua :

a. Jama’ qillah
Jama’ qillah menunjukkan kepada hitungan tiga hingga 10.[8] Jama’ qillah memiliki 4 wazan : أفعُل, أفعال, أفعلة, فِعلة.

b. Jama’ Katsrah
Jama’ katsrah menunjukkan kepada hitungan 10 atau lebih.[9] Adapun waza-wazan-nya berjumlah 23 : فُعْل, فُعٌل, فُعَل, فِعَل, فُعَلَة, فَعَلة, فعلي, فِعلة, فُعًل, فُعًال,فعال,فعول, فعلان, فُعلان, فعلا, أفعلا, فواعل, فعائل, فعالي, فعلَي, فعاليًَ, فعالل, شبه فعالل. [10] .

Rahasia Di balik Ragam Jama’ untuk Mufrad yang Sama
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa ragam jama’ ini mengandung nilai kesusastraan yang tinggi, bukan sekedar perbedaan lahjah, maka perlu kiranya membahas dan meneliti latar belakang kesusastraan yang mempengaruhi al-Qur’an sehingga menggunakan ragam bentuk jama’ untuk satu mufrad.
Para ulama telah menetapkan beberapa sebab munculnya ragam bentuk jama’ ini. Namun penulis tidak akan membahasnya semua, hanya beberapa sebab saja. Di antaranya:
Menunjukkan kepada al-qillah dan al-katsrah
Terkadang perbedaan dua bentuk Jama’ yang berasal dari satu mufrad yang sama menggambarkan tiga hal :

a. P enggambaran dengan Jama’ qillah berhadapan dengan Jama’ katsrah
Jama’ qillah dan jama’ katsroh adalah dua jenis jama’ yang berasal dari jama’ taksir. Dalam al-Qur’an ditemukan bahwa keduanya dipakai dalam tempat yang berbeda.
Contohnya adalah lafadz أنعم dan نعم. Lafadz أنعم terdapat dalam dua ayat, yaitu surat an-Nahl ayat 112"فكفرت بأنعم الله " “tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah”.dan ayat 121 " وشاكرا لأنعمه" “...(lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Sedangkan lafadz نعم. Terdapat dalam surat Luqman ayat 20 : وأسبغ عليكم نعمه ظارة وباطنة“ dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.
Lafadz أنعم menunjukkan arti sedikit (qillah ) karena ayat pertama bercerita tentang penduduk desa dan ayat kedua bercerita tentang satu individu yaitu Ibrahim as. Menurut kaedah bahwa pembatasan terhadap jumlah manusia menunjukkan pembatasan nikmat pula. Sedangkan dalam surat Luqman khitab-nya adalah umum, mencakup setiap manusia. Maka penggunaan lafadz ni’mah ini menunnjukkan atas banyaknya nikmat allah bagi manusia.

b. Penggambaran dengan Jama’ salim berhadapan dengan Jama’ taksir
Contoh kalimat سنبلات dan سنابل . Lafadz سنبلات terdapat dalam surat Yusuf ayat 43 إني أري سبع بقرات سمان يأكلهن سبع عجاف وسبع سنبلات خضر dan 64. Sedangkan lafadz سنابل terdapat dalam surat al-Baqoroh ayat 261 كمثل حبة أنبتت سبع سنابل.
Penggunaan Jama’ muannats salim menunjukkan pada makna qillah . Sedangkan penggunaan Jama’ taksir menunjukkan pada makna katsrah atau banyak.

2. Menunjukkan yang Umum dan khusus
Kata أنفس dan نفوسberasal dari mufrad yang sama. Lafadz نفوس hadir sebanyak 153 kali dalam al-Qur’an. Lafadz nufuus mengandung arti arwah manusia. Seperti dalam surat al-Isra ayat 25 ربكم أعلم بما في نفوسكم ., dan surat at-Takwir ayat 7 زوجت وإذا النفوس dilalah-nya ditemukan dari keterangan ayat lain bahwa yang dibangkitkan kelak adalah arwah bukan jasad. Jadi lafadz nufus di sini bermakna khusus.
Adapun lafadz anfus bermakna umum. Seperti dalam surat al-Baqoroh ayat 235واعلموا أن الله يعلم ما في أنفسهم , dan surat Hud ayat 31 الله أعلم بما في أنفسهم .

3. Menunjukkan nama atau sifat
Al-Qur’an menggunakan Jama’ taksir untuk menunjukan nama di satu sisi, dan di sisi yang lain menggunakan Jama’ salim untuk menunjukkan sifat. Seperti lafadz راس dan راسيات . lafadz raasun hadir sebanyak 9 kali dalam bentuk mat’ul bih, yaitu dalam surat ar-Ra’du ayat 3 وجعل فيها رواسي وأنهارا. Lafadz rawaasiya di sini berarti gunung-gunung.
Adapun lafadz rasiyaatu hadir dalam surat Saba ayat 13 وقدور الراسيات. periuk yang tetap (berada di atas tungku). Arti bentuk Jama’ di sini adalah sifat menetap. Arti rasiyat : yang tetap, tidak berubah dan bergerak karena kebesarannya.[11]

4. Menunjukkan kepada Muanats dan Mudzakar
Contohnya lafadz قواعد, قعود, قاعدون . lafadz qawa’id menunjukkan kepada muannats sebagai bentuk Jama’ dari qoo’idah, yang berarti wanita yang telah berhenti dari haid dan nikah. Lafadz ini hadir dalam surat an-Nur ayat 60 والقواعد من النساء اللاتي لابرجون نكاحا ........ . sedangkan lafadz qu’uud dan qoo’iduuna menunjukan mudzakar

5. Menunjukkan kepada yang berakal dan yang tidak berakal
Contohnya adalah lafadz أخرون dan أخر . Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Jama’ mudzakar salim hanya digunakan bagi yang berakal saja. Maka lafadz akhoruuna di sini yang merupakan bentuk mudzakar salim, selalu disandingkan dengan hal-hal yang berakal, seperti dalam surat at-Taubah ayat 102 بذنوبهم اعترفوا وأخرون . sedangkan lafadz ukhor menunjukan kepada hal yang tidak berakal, seperti dalam surat al-Baqoroh ayat 184 فعدة من أيام أخر.

6. Menetapkan ketunggalan sifat atau mubalaghah
Ada satu kaedah yang mengatakan bahwa penambahan huruf berimplikasi pada bertambahnya arti. Mungkin kaedah ini dapat kita terapkan dalam dua bentuk Jama’ dari mufrad yang sama, yaitu lafadz فجار dan فجرة . lafadz fujjar hadir sebanyak 3 kali yang kesemuanya menunjukkan pada sifat mubalaghah, seperti dalam surat Shad ayat 28 أم نجعل المتقين كالفجار. Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma'siat?. Sedangkan lafadz fajaroh terdapat dalam surat Abasa ayat 42 ألئك هم الكقرة الفجرة. Lafadz fijjar dalam surat Shad mengandung arti sifat durhaka yang sangat durhaka. Sedangkan lafadz fajaroh menunjukkan sifat durhaka yang lebih rendah.

D. Penutup
Ragam bentuk jama’ untuk mufrad yang sama menyimpan satu nilai kesusastraan yang tinggi, sulit ditandingi. Al-Qur’an begitu cerdas memilih kata untuk menjelaskan ataupun menyampaikan suatu nilai tanpa mereduksi nilai tersebut. Penggunaan ragam bentuk jama’ untuk mufrad yang sama menjadi pembeda antara al-Qur’an dengan krya-karya yang lainnya, di mana setiap bentuk jama’ memiliki makna yang berbeda sesuai dengan peletakkannya.
Namun demikian penggunaan ragam bentuk jama’ untuk mufrad yang sama dalam al-Qur’an masih memerlukan kajian yang mendalam dan komperehensif. Apalagi dengan perkembangan ilmu kebahasaan kini memungkinkan bagi kita menggali al-Qur’an dari perspektif yang berbeda, sehingga ditemukan keagungan nilai kesusastraannya.
Wallahu a’lam bi as-shawab



Referensi

· Dr. Ahmad Mukhtar Umar, Dirasat Lughawiyah fi al-Qur’an al-Karim. Kairo: Alam al-Kutub, 2001, cet ke-1
· Fuad Nu’mah, Mulakhis Qawaid al-Lughah al-‘Arabiyyah. Damaskus: Dar al-Hikmah, tth, cet ke-9
· Dr. Muhammad Syahrur.al-Kitab wa al-Qur’an:Qiraah Mu’ashirah.Beirut:Syirkah al-Mathbu’ah, 2000, cet ke-6, hal. 179
· Dr. amin Ali Sayid.Fi Ilmi as-Sharf. Mesir:Dar al-Ma’arif, 1976, cet ke-3
Ahmad al-Hamlawi. Kitab Syadz al-‘Azaf fi Fanni al-Sharf. Mesir: Syirkah Maktabah wa matba’ah, tth.
[1] Dr. Muhammad Syahrur.al-Kitab wa al-Qur’an:Qiraah Mu’ashirah.Beirut:Syirkah al-Mathbu’ah, 2000, cet ke-6, hal. 179
[2] Dr. Ahmad Mukhtar Umar, Dirasat Lughawiyah fi al-Qur’an al-Karim. Kairo: Alam al-Kutub, 2001, cet ke-1, hal. 203
[3] Fuad Nu’mah, Mulakhis Qawaid al-Lughah al-‘Arabiyyah. Damaskus: Dar al-Hikmah, tth, cet ke-9, hal. 20
[4] Dr. Amin Ali Sayid.Fi Ilmi as-Sharf. Mesir:Dar al-Ma’arif, 1976, cet ke-3, hal 95
[5] Isim alam haruslah dalam bentuk mudzakar dan berakal. Sedangkan isim sifat harus pula berakal, bebas dari ta. Lih. Fuad Nu’mah, Ibid, hal. 21
[6] Fuad Nu’mah,Ibid, hal 23
[7] Ibid,hal.24
[8] Ahmad al-Hamlawi. Kitab Syadz al- ‘Azaf fi Fanni al-Sharf. Mesir: Syirkah Maktabah wa matba’ah Musthafa al-Babi al-Habli, 1964, cet ke-15, hal.101
[9] Dr. Amin Ali Sayyid,Ibid,hal. 111
[10] Ahmad al-Hamli,Ibid,hal. 103-112
[11] Dr. Ahmad Mukhtar Umar, Ibid, hal 220
di salin dari www.bimsislam.depag.go.id

TEORI LAFAZ TERHADAP MAKNA:
Perbandingan Antara Metode Hanafiyah dan Mutakallimin

A. Pendahuluan
Perbedaan penemuan hukum (istinbat al-ahkam) terjadi akibat beberapa faktor, baik internal maupun eksternal. Salah satu faktor penyebab perbedaan tersebut, secara internal, adalah perbedaan metode ulama Usul dalam memahami makna nass, al-Qur’an dan Hadis, melalui lafaz (turq dilalah al-alfaz).

Ada dua metode (manhaj) yang berkembang tentang lafaz tersebut - juga dikenal sebagai dua aliran besar dalam Usul al-Fiqh - yaitu, Metode Hanafiyah dan Metode Mutakallimin yang masing-masing memiliki rumusan tersendiri. Dengan demikian, perbedaan persepsi dalam penemuan hukum, seperti telah diungkapkan, terkesan wajar dan dianggap lumrah.
Tulisan ini akan membahas konsep lafaz yang dirumuskan oleh kedua metode tersebut. Titik temu keduanya akan dideskripsikan dengan menggunakan pendekatan komparatif. Namun, tulisan ini tidak berpretensi untuk memberikan penilaian terhadap keabsahan kedua metode tersebut.

B. Lafaz Menurut Metode Hanafiyah
Pakar Usul Hanafiyah sepakat bahwa lafaz ada yang dapat dipahami langsung secara tekstual dan ada yang tidak. Yang dapat dipahami langsung, ada yang mengandung mana eksplisit dan ada yang inplisit. eksplisit tersebut umum disebut ‘ibarah an-nass, Sementara yang inplisit disebut isyarah an-nass. Adapun lafaz yang tidak dapat dipahami secara tekstual, ada kalanya dapat dipahami melalui kaedah bahasa dan ada yang melalui pendekatan syara’ atau logika. Yang pertama disebut dilalah an-nass, dan kedua disebut iqtida’ an-nass. Klasifikasi tersebut - ‘ibarah an-nass, isyarah an-nass, dilalah an-nass, dan iqtida’ an-nass - merupakan pembagian lafaz dalam memahami makna nass menurut Hanafiyah.
Untuk lebih lanjut, dirasa perlu mendeskripsikan substansi masing-masing tersebut, guna pemahaman lebih mendalam dan persamaan persepsi.

1. ‘Ibarah an-Nass
As-Sarakhsi (w. 490 H.) berpendapat bahwa ‘ibarah an-nass adalah ungkapan yang dapat dipahami langsung, diketahui sebelum menggunakan pengamatan atau pemikiran, dan zahir nass telah mendeskripsikannya. Menurut Abu Zahrah, ‘ibarah an-nass tidak hanya dapat dipahami melalui lafaz zahir semata, melainkan juga dapat dipahami melalui lafaz nass, lafaz muhkam, maupun lafaz mufassar. Menurut al-Khinn, suatu ungkapan disebut ‘ibarah an-nass, bila ungkapan tersebut mengandung makna langsung (asalah) atau makna tidak langsung (tab’an).

Berdasarkan pendekatan defenitif tersebut, suatu nass mengandung ‘ibarah apabila memenuhi beberapa unsur, di antaranya: terdiri dari lafaz zahir, nass, muhkam, atau mufassar; dapat dipahami tanpa melalui proses pengamatan (qabl at-ta’ammul); dan memiliki makna eksplisit, baik langsung atau tidak. Misalnya Firman Allah SWT tentang kebolehan berumah tangga. ‘ibarah an-nass yang diperoleh berdasarkan ungkapan tersebut adalah: Kebolehan berumah tangga, Kebolehan mempunyai istri lebih dari satu orang, dan tentang kewajiban membatasi untuk menikahi seorang wanita, jika ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil bila mempunyai istri lebih dari seorang.

2. Isyarah an-Nass
Isyarah an-nass adalah ungkapan yang mengandung makna inplisit, yang dapat dipahami melalui proses pengamatan tanpa menambah atau mengurangi lafaz. Dengan ungkapan yang berbeda, Abu Zahrah menyatakan bahwa isyarah an-nass merupakan kesimpulan (natijah) dari sebuah ungkapan yang dipahami dari ‘ibarah, namun terlepas dari lafaz ‘ibarah tersebut. Dalam Kitab Kasyf al-Asrar dinyatakan bahwa ungkapan tersebut diperoleh melalui rangkaian ungkapan ‘ibarah, namun bukan sebagai tujuan, juga bukan nass, serta bukan merupakan bentuk zahir. Wahbah az-Zuhaili menyatakan, lafaz bukan merupakan maksud secara langsung dan tidak langsung, melainkan mengandung makna yang dapat diperoleh dengan segera melalui ungkapan lafaz. Maksudnya adalah makna yang tergambar dari lafaz tersebut.
Dengan mengacu pada batasan terminologis sebelumnya, suatu ungkapan mengandung isyarah apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut: merupakan ungkapan yang memiliki makna inplisit; dipahami melalui proses pengamatan; tanpa menambah atau mengurangi teks nass, merupakan rangkaian 'ibarah, maknanya terlepas dari lafaz ‘ibarah, serta bukan mengandung makna langsung atau sebaliknya.
Firman Allah mengenai masa kehamilan minimal 6 bulan dapat dijadikan contoh. Makna isyarah ayat tersebut adalah bahwa masa kehamilan minimal adalah 6 bulan. Dan tersebut bukan makna yang segera diperoleh dari makna lafaz secara tekstual.

3. Dilalah an-Nass
Dalam Kitab Kasyf al-Asrar dinyatakan bahwa dilalah an-nass merupakan penetapan yang diperoleh melalui makna ungkapan nass secara lugawiyah, tanpa ijtihad dan istinbat. Al-Khinn menjelaskan, pada mulanya sebagian pakar Usul Hanafiyah berbeda pendapat mengenai batasan pengertian dilalah an-nass. Namun ada kesepakatan di antara mereka, bahwa dilalah an-nass merupakan lafaz yang digunakan untuk penetapan hukum dan diketahui oleh setiap orang yang bisa berbahasa Arab karena adanya indikasi tanpa terlebih dahulu melalui ijtihad.
Adapun unsur-unsur lafaz dilalah an-nass dapat dirumuskan sebagai berikut: makna yang diperoleh merupakan jiwa nass; penetapan makna bukan melalui proses ijtihad atau istinbat, dan makna tersebut dapat dipahami oleh orang yang mempunyai pengetahuan bahasa Arab; serta adanya implikasi dari makna lafaz untuk memahami hal yang tidak disebutkan lafaz. Contohnya, Firman Allah SWT tentang larangan ta'fif: Kandungan ibarah an-nass ayat tersebut adalah larangan ta’fif dengan alasan bahwa perbuatan tersebut menyakiti orang tua (al-iza’). dilalah an-nass ungkapan tersebut adalah larangan untuk memukul, memaki, memarahi orang tua, dll.

4. Iqtida’ an-Nass
Batasan iqtida’ an-nass menurut Abu Zahrah adalah lafaz yang tidak bisa dipahami kecuali dengan mentaqdirkannya. Ditegaskan oleh al-Khinn, suatu disebut iqtida’ an-nass bila kebenaran atau kesahihan sebuah makna secara syara’ atau ‘aqliyyah yang tergantung pada makna di luar lafaz. Dengan demikian, unsur-unsur iqtida’ an-nass adalah: makna yang diinginkan berada pada lafaz yang ditaqdirkan; dan lafaz dapat dipahami dengan bantuan syari’ah dan logika.

C. Lafaz Menurut Metode Mutakallimin
Secara umum, pakar Usul Mutakallimin membagi lafaz kepada mantuq dan mafhum. Berikut dipaparkan:

Mantuq
Menurut as-Syaukani (w. 1255 H.), mantuq merupakan lafaz yang diketahui dari objek penuturan (fi mahl an-natq), artinya, hukum yang disebutkan lafaz dan sebagai keadaan yang sebenarnya (hal min ahwalihi). Al-Khinn sependapat dengan batasan tersebut, namun ia menegaskan bahwa mantuq tidak terbatas pada hukum an-sich. Selanjutnya Mutakallimin sependapat bahwa mantuq terdiri dari mantuq sarih dan gair sarih. Mantuq sarih adalah lafaz dari segi kesesuaian (mutabaqah) dan cakupan (tadammum). Misalnya: Firman Allah SWT tentang riba. mantuq sarih nass tersebut adalah kehalalan jual beli dan keharaman riba. Adapun mantuq gair sarih adalah yang mengandung kemestian (iltizam), bukan kesesuaian dan cakupan. Seperti Firman Allah tentang nisbah anak. Mantuq gair sarih ayat tersebut adalah bahwa anak dinisabkan kepada ayah dan ibunya dan nafkah anak adalah tanggung jawab ayahnya, bukan ibu.

Mantuq gair sarih dapat diklasifikasikan menjadi tiga pembagian:
Dilalah iqtida’; yang mengabstraksikan bahwa maksud si pembicara tergantung pada makna di luar lafaz.
Dilalah al-Ima’; yang beriringan dengan ketetapan, dan jika tidak beriringan karena suatu illat, niscaya akan jauh pada makna yang dikandungnya. misalnya Firman Allah SWT tentang hukuman bagi pencuri. Melalui pendekatan al-ima’ dapat diketahui bahwa perintah potong tangan terkait dengan sifat pencurian, jika sifat tersebut bukan sifat sebagai illat hukum yang terkait dengan perintah potong tangan, maka niscaya tidak akan ada kebersamaan makna.
Dilalah isyarah; yang bukan merupakan maksud pembicaraan. Misalnya Firman Allah SWT tentang masa kehamilan. isyarah yang muncul berdasarkan kedua ayat tersebut adalah bahwa masa kehamilan minimal adalah 6 bulan. Dan tersebut bukan makna yang segera diperoleh dari makna lafaz secara tekstual.

Mafhum
Mafhum adalah lafaz yang bukan merupakan objek penuturan. Maksudnya bahwa ketetapan tersebut merupakan ketetapan terhadap makna yang tidak disebutkan. Jumhur Mutakallimin sepakat bahwa, mafhum dapat dibedakan pada dua pembagian:
Mafhum Muwafaqah. Disebut mafhum muwafaqah bila lafaz mantuq suatu ungkapan sesuai dengan yang tidak disebutkan. tersebut diperoleh tanpa memerlukan ijtihad. lafaz tersebut disebut mafhum muwafaqah karena yang tidak disebutkan sama hukumnya dengan yang disebutkan. Jumhur Mutakallimin juga sepakat bahwa mafhum muwafaqah dapat dibedakan menjadi:
Fahw al-Khitab; jika mafhum tersebut lebih utama (lebih tinggi tingkatannya). Misalnya Firman Allah SWT tentang larangan ta'fif. Kandungan mantuq ayat tersebut adalah larangan ta’fif dengan alasan bahwa perbuatan tersebut menyakiti orang tua (al-iza’). fahw al-khitab yang diperoleh adalah larangan memukul, memaki, memarahi orang tua, dll.
Lahn al-khitab, jika mafhum tersebut memiliki tingkatan yang sama (musawi). Misalnya Firman Allah SWT tentang keharaman memakan harta anak yatim. Makna mantuq ayat tersebut adalah keharaman memakan harta anak yatim dengan zalim. lafaz lahn al-khitab-nya adalah bahwa membakar atau menyia-nyiakan harta anak yatim juga haram. Penyamaan tersebut karena memakan dan membakar harta anak yatim bersifat memusnahkan atau menghabisi harta tersebut.
Mafhum Mukhalafah. lafaz pada ungkapan yang tidak disebutkan memiliki konsekuensi yang berbeda dari lafaz yang mantuq. Mafhum ini juga disebut dalil al-khitab. Misalnya Firman Allah SWT tentang keharaman menikahi hamba perempuan. mantuq ayat tersebut adalah sesuai dengan pemahaman langsung. Sementara mafhum mukhalafah yang dikandung ayat tersebut adalah keharaman untuk menikahi hamba perempuan bagi orang yang dapat memenuhi nafkah bila menikahi wanita mukmin yang merdeka.

D. Analisa Perbandingan
Ketika mendeskripsikan uraian sebelumnya, hipotesa yang muncul adalah adanya kesan pemahaman yang hampir sama, antara metode Hanafiyah dan Mutakallimin dalam memahami esensi dan substansi lafaz. Sebagian besar perbedaan terma-terma yang digunakan mengandung esensi yang sama antara Metode Hanafiyah dan Mutakallimin. Perbedaan juga lumrah terjadi dalam tatanan pengembangan rumusan masing-masing metode. Meskipun keduanya beranjak dari konsep dasar yang sama, yaitu penelusuruan terhadap lafaz dalam konteks upaya pemahaman terhadap makna nass.
Dari sudut pandang terma-terma yang digunakan; golongan Hanafiyah menggunakan ‘ibarah an-nass, isyarah an-nass, dilalah an-nass, dan iqtida’ an-nass. Sementara golongan Usul Mutakallimin menggunakan terma seperti mantuq sarih, gair sarih (dilalah iqtida’, dilalah al-ima’ dan dilalah isyarah), mafhum muwafaqah, dan mafhum mukhalafah. Kedua golongan tersebut sepakat dalam menggunakan terma isyarah dan iqtida’. Dari segi maksud dan tujuan, lafaz kedua terma tersebut juga memiliki substansi yang sama. Artinya, isyarah dan iqtida’ yang dimaksud oleh Hanafiyah sama dengan apa yang dimaksud Mutakallimin. Bagi golongan Hanafiyah, isyarah dan iqtida’ merupakan pembagian inti lafaz, sementara bagi Mutakallimin, kedua tersebut merupakan bagian dari mantuq gair sarih.
Berdasarkan pendekatan defenisi, diketahui pula bahwa ada di antara terma-terma berbeda dari kedua golongan tersebut memiliki substansi yang sama, seperti terma ibarah an-nass menurut Hanafiyah dikenal dengan terma mantuq sarih menurut Mutakallimin. Demikian juga halnya dengan terma dilalah an-nass bagi kalangan Hanafiyah dikenal dengan terma mafhum wuwafaqah menurut Mutakallimin. Bedanya, Mutakallimin membagi mafhum mukhalafah kepada fahw al-khitab dan lahn al-khitab, sementara Hanafiyah tidak menjabarkan dilalah an-nass. Dari deskripsi sebelumnya, dapat dipahami bahwa Hanafiyah tidak mengenal mafhum mukhalafah, bahkan menganggapnya sebagai istidlal yang fasid.
Dalam konteks dilalah an-nass atau mafhum muwafaqah, kalangan mutakallimin seperti Syafi’i, Hambali dan ar-Razi’ mendudukkannya sebagai Qiyas. Menurut ada pula beberapa ulama Mutakallimin, terutama dari golongan Asy’ariyah dan Mu’tazilah, yang menyatakan bahwa mafhum mukhalafah bukan merupakan Qiyas melainkan makna yang segera dapat diperoleh dari keadaan yang sebenarnya. Kalangan Hanafiyah sepakat untuk tidak menjadikan dilalah an-nass sebagai Qiyas karena penetapan hukum diperoleh dari pemahaman terhadap makna nass, bukan melalui qiyas.
Selanjutnya mengenai tingkatan masing-masing lafaz, ulama Hanafiyah sepakat bahwa lafaz yang paling tinggi tingkatannya adalah ‘ibarah nass, kemudian isyarah an-nass, kemudian dilalah an-nass, dan iqtida’ an-nass. Pada dasarnya golongan Mutakallimin sepakat dengan tingkatan tersebut kecuali tentang keberadaan isyarah dan dilalah an-nass.
Menurut Syafi’iy, dilalah an-nass lebih didahulukan daripada isyarah an-nass. Alasan yang dipergunakan adalah bahwa dilalah an-nass dapat dipahami secara langsung dari pendekatan bahasa. Dengan demikian, pemahamannya lebih mendekati makna yang dikandung oleh ‘ibarah an-nass. Sedangkan isyarah an-nass lebih cenderung memandang pemahaman yang inplisit. Hanafiyah beralasani bahwa isyarah an-nass diperoleh dari rangkaian ‘ibarah an-nass. Selain itu, isyarah an-nass berada dalam cakupan lafaz yang mantuq, sedangkan ‘ibarah an-nass berada dalam cakupan lafaz yang mafhum.
Salah satu contoh perbedaan penemuan hukum, akibat pertentangan pemahaman antara Syafi’i dan Hanafi dalam konteks isyarah an-nass dan dilalah an-nass, adalah dalam memahami Firman Allah SWT tentang pembunuhan sengaja. Makna inplisit ayat tersebut adalah bahwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja tidak terkena hukuman dunia. Kemudian dihubungkan dengan ayat lain. Makna berdasarkan pendekatan dilalah an-nass menunjukkan bahwa kalau pembunuhan karena tersalah dikenakan kifarat, tentu juga kifarat tersebut diberlakukan pada pembunuhan dengan sengaja.
Konsekuensi logisnya, menurut Hanafiyah; orang yang melakukan pembunuhan dengan cara sengaja tidak dikenakan kifarat. Alasannya, mereka lebih mendahulukan isyarah an-nass dari pada ‘ibarah an-nass. Sementara menurut Syafi’iyah; orang yang melakukan pembunuhan dengan cara sengaja dikenakan sanksi kifarat. ***

E. Penutup
Pada dasarnya kedua metode lafaz dalam penemuan hukum memiliki pandangan dan terma-terma yang hampir sama. Persamaan antara kedua metode tersebut terletak pada konsepsi mereka tentang isyarah dan iqtida’ an-nass. Dari segi maksud dan tujuan, lafaz kedua terma tersebut juga memiliki substansi yang sama. Artinya, isyarah dan iqtida’ yang dimaksud oleh Hanafiyah sama dengan apa yang dimaksud Mutakallimin. Bagi golongan Hanafiyah, isyarah dan iqtida’ merupakan pembagian inti lafaz, sementara bagi Mutakallimin, kedua tersebut merupakan bagian dari mantuq gair sarih.
Diketahui pula bahwa ada di antara terma-terma berbeda dari kedua golongan tersebut memiliki substansi yang sama, seperti terma ibarah an-nass menurut Hanafiyah dikenal dengan terma mantuq sarih menurut Mutakallimin. Demikian juga halnya dengan terma dilalah an-nass bagi kalangan Hanafiyah dikenal dengan terma mafhum wuwafaqah menurut Mutakallimin. Dari deskripsi sebelumnya, juga dapat dipahami bahwa Hanafiyah tidak mengenal mafhum mukhalafah, bahkan menganggapnya sebagai istidlal yang fasid.
DAFTAR BACAAN
Abu Zahrah, Muhammad, Usul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Kairo, 1377 H./1958.
Al-Amidi, Syaif ad-Din Abu Hasan ‘Ali ibn Abu ‘Ali ibn Muhammad, al-Ihkam fi Usul al- Ahkam, Juz I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon, t.t.
Al-Bukhari, ‘Ala’u ad-Din ‘Abd al-‘Aziz ibn Ahmad, Kasyf al-Asrar; ‘An Usul Fakhr al-Islam al-Bazdawi, Juz I, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, Libanon, t.t.
Al-Khinn, Mustafa Sa’id, Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, Libanon, 1392 H./ 1972 M.
As-Sarakhsi, Usul as-Sarakhsi, ditahqiq oleh Abu al-Wafa al-Afgani, Juz I, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Libanon, 1393 H./1973 M.
As-Syarbaini, ‘Abd ar-Rahman, Hasyiah al-‘Alamah al-Bannani ‘ala Syarh Jam’ al-Jawami’, Juz I, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah Ashabiha ‘Isa al-Babi al-Halabi, Mesir, t.t.
As-Syaukani, Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Usul, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, t.t.
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Ma’asir, Beirut, Libanon, 1416 H./ 1995 M.


MUTLAK DAN MUQOYYAD

(المُطلَق والمقَيَّد)

DEFINISI MUTLAK (المطلق):

Mutlak (المطلق) secara bahasa adalah : (ضد المقيد) lawan dari Muqoyyad.

Dan secara istilah :

ما دل على الحقيقة بلا قيد
“Apa-apa yang menunjukkan atas hakikat tanpa ikatan”

Sebagaimana firman Alloh ta’ala :

فتحرير رقبة من قبل أن يتماسا
“Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur” (QS al-Mujadilah : 3)

Maka keluar dari perkataan kami : (ما دل على الحقيقة) “apa-apa yang menunjukkan atas hakikat”: umum (العام), karena umum menunjukkan atas keumuman, bukan mutlak hakikat saja.

Maka keluar dari perkataan kami : (بلا قيد) “tanpa ikatan” : Muqoyyad (المقيد).


DEFINISI MUQOYYAD (المقيد) :

Muqoyyad (المقيد) secara bahasa adalah : (ما جعل فيه قيد من بعير ونحوه) Apa yang dijadikan padanya suatu ikatan dari unta dan yang semisalnya.

Dan secara istilah :

ما دل على الحقيقة بقيد
“Apa-apa yang menunjukkan hakikat dengan ikatan”

Sebagaimana firman Alloh ta’ala :

فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman” (QS an-Nisa’ : 92).

Maka keluar dari perkataan kami : (بقيد) “ikatan” : Mutlak (المطلق).


BERAMAL DENGAN NASH YANG MUTLAK :

Wajib beramal dengan nash yang mutlak berdasarkan kemutlakannya kecuali jika ada dalil yang men-taqyid-nya (mengikatnya), karena beramal dengan nash-nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah adalah wajib berdasarkan atas apa-apa yang menjadi konsekuensi penunjukkan-penunjukannya sampai ada dalil yang menyelisihi hal itu.

Jika terdapat nash yang mutlak dan nash yang muqoyyad, wajib mengikat nash yang mutlak tersebut dengan nash yang muqoyyad jika hukumnya satu (dalam satu permasalahan, pent), dan jika tidak, maka setiap nash diamalkan berdasarkan apa-apa yang ada padanya, dari mutlak atau muqoyyad.

Contoh yang hukum keduanya satu : firman Alloh ta’ala :

فتحرير رقبة من قبل أن يتماسا
“maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur” (QS al-Mujadalah : 3)

Dan firman Alloh dalam kafarot membunuh :

فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman” (QS. an-Nisa’ : 92)

Contoh yang hukum keduanya tidak satu : Firman Alloh ta’ala :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (QS. al-Ma’idah : 38).

Dan firman Alloh dalam ayat wudhu’ :

فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِق

“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku” (QS. al-Ma’idah : 6)


Maka hukumnya berbeda, yang pertama memotong dan yang kedua membasuh, maka ayat yang pertama tidak bisa diikat dengan ayat yang kedua, bahkan tetap pada kemutlakannya, sehingga pemotongan adalah sampai pergelangan tangan dan membasuh sampai siku.


***

[Diterjemahkan dari kitab al-Ushul min 'Ilmil Ushul karya asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin]